Tuesday, 26 October 2010

PRIORITAS PERJUANGAN PEMIKIRAN

YANG juga patut kita beri perhatian dalam usaha perbaikan masyarakat ialah mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak mereka. Tidak diragukan lagi bahwa kita memerlukan suatu landasan yang sangat kuat untuk melakukan perbaikan di dalam masyarakat. Karena sangat tidak masuk akal, bahwa amal perbuatan dapat meniti jalan yang benar, kalau pemikirannya tidak lurus. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:

"Bilakah bayangan akan lurus kalau tongkatnya sendiri bengkok?"

Oleh sebab itu, barangsiapa yang pandangannya tidak baik terhadap suatu perkara, maka perilakunya yang berkaitan dengan perkara itu juga tidak akan baik. Karena sesungguhnya perilaku itu sangat dipengaruhi oleh pandangannya, baik ataupun buruk.

Atas dasar itu, pertarungan pemikiran --yakni pelurusan pemikiran yang menyimpang, dan konsep-konsep yang tidak benar-- harus diberi prioritas dan didahulukan atas perkara yang lain. Hal ini digolongkan sebagai 'perang besar' --dengan al-Qur'an sebagai senjatanya-- sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat al-Furqan; dan juga tergolong sebagai perang dengan lidah dengan memberikan penjelasan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw, "Perangilah orang-orangmusyrik dengan harta benda, jiwa, dan lidah kalian. "

PERJUANGAN PEMIKIRAN DI DALAM PELATARAN ISLAM

Ada dua jenis medan pertarungan dalam pemikiran:

Pertama, pertarungan di luar Islam, melawan atheisme, orang-orang Nasrani, dan orang-orang orientalis yang selalu memerangi Islam, dari segi aqidah, syariah, warisan pemikiran, dan budaya. Mereka senantiasa memerangi kebangkitan apapun yang didasarkan pada Islam.

Kedua, pertarungan di dalam pelataran Islam, untuk membetulkan arah perbuatan yang patut dilakukan dalam Islam. Mengarahkan perjalanan hidupnya, dan meluruskan gerakannya, sehingga perbuatan tersebut dapat meniti jalan yang benar untuk menuju tujuan yang benar pula. Kami akan mempersingkat perbincangan tentang hal itu, karena sesungguhnya perbaikan secara internal merupakan dasar dan landasan yang harus kita beri prioritas.

5 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Anas, 3: 124, 153; Abu Dawud (2504); Nasai, 6: 7; Darimi. 2: 213; Ibn Hibban, 11: 4708; Hakim, 2: 81; dan di-shahih-kan olehnya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

Tidak diragukan lagi bahwa kita sekarang ini menghadapi berbagai arus pemikiran yang tidak benar:

a. Arus Pemikiran Khurafat:

1. Khurafat dalam aqidah;
2. bid'ah dalam ibadah;
3. Pemikiran yang stagnan;
4. Taqlid dalam fiqh;
5. Perilaku yang negatif; dan
6. Permainan yang tidak benar dalam politik.

b. Arus Pemikiran Literal

Yakni arus pemikiran yang literal. Arus pemikiran ini, walaupun keras dalam perkara agama dan pembelaannya, memiliki sifat-sifat yang menjadi ciri khas penganutnya; seperti:

1. Kontroversialisme dalam Aqidah;
2. Formalisme dalam ibadah;
3. Zahiriyah dalam fiqh;
4. Parsialisme dalam memberikan perhatian;
5. Kering dalam ruh;
6. Kasar dalam melakukan da'wah; dan
7. Menyempitkan diri dalam perselisihan pendapat.

c. Arus Pemikiran yang Reaktif dan Keras

Ada lagi aliran yang menolak masyarakat dengan semua institusinya. Walaupun pengikut aliran ini memiliki kelebihan dalam hal semangat dan keikhlasannya, tetapi ada sifat-sifat lain yang dimiliki olehnya; antara lain:

1. Keras dan kaku dalam menjalankan ajaran agama;
2. Membanggakan diri sehingga merasa superior dan melecehkan masyarakat;
3. Memiliki wawasan yang sempit dalam memahami agama, kenyataan hidup, suMah kauniyah, dan sunnah

kemasyarakatan;
4. Tergesa-gesa mengambil tindakan sebelum waktunya;
5. Cepat mengkafirkan dan tidak hati-hati;
6. Mempergunakan kekuatan untuk mewujudkan cita-citanya; dan
7. Berprasangka buruk kepada selain kelompoknya.

d. Arus pemikiran yang moderat

Akan tetapi, ada pula arus pemikiran yang moderat, yang didasarkan pada keseimbangan dalam memahami agama, kehidupan, dan perjuangan untuk memenangkan agama. Arus pemikiran ini juga memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari arus pemikiran lainnya; antara lain penekanannya terhadap prinsip-prinsip berikut ini:

1. Memahami ajaran agama dengan pemahaman yang menyeluruh, seimbang, dan mendalam;
2. Memahami kehidupan nyata tanpa meremehkan atau takut kepadanya. Yaitu kehidupan nyata kaum Muslimin

dan kehidupan nyata musuh-musuh mereka;
3. Memahami sunnatullah dan hukum-hukum-Nya yang tetap dan tidak berubah-ubah, khususnya hukum yang

berkaitan dengan masyarakat manusia;
4. Memahami tujuan syariah, dengan amalan lahiriah yang tidak stagnan;
5. Memahami masalah prioritas, yang berkaitan dengan fiqh pertimbangan;
6. Memahami perselisihan pendapat dan tata caranya, serta menghadapinya dengan sifat yang diajarkan oleh

Islam (bekerja sama dalam masalah yang disepakati dan memberikan toleransi kepada orang yang berselisih

pendapat dengannya);
7. Mempertimbangkan antara perkara-perkara syariah yang tetap dengan perubahan zaman;
8. Menggabungkan antara pendapat salaf dan khalaf (antara pendapat yang orsinil dan pendapat yang modern);
9. Percaya kepada adanya perubahan pemikiran, kejiwaan dan perilaku yang didasarkan kepada perubahan

budaya manusia;
10.Mengemukakan Islam sebagai proyek peradaban yang sempurna, untuk membangkitkan umat dan

menyelamatkan manusia dari filsafat materialisme modern;
11.Mengambil jalan yang paling mudah dalam memberikan fatwa dan memberikan kabar gembira dalam

melakukan da'wah;
12.Memunculkan nilai-nilai sosial dan politik dalam Islam, seperti: kebebasan, kehormatan, musyawarah, keadilan

sosial, dan menghormati hak asasi manusia;
13.Mau berdialog dengan orang lain dengan cara yang baik, yaitu dengan para penentang dari orang-orang bukan

Islam, atau orang Islam yang inferior secara pemikiran dan keruhanian; dan
14.Mempergunakan jihad sebagai jalan untuk mempertahankan kehormatan kaum Muslimin dan negeri mereka.


Itulah arus pemikiran yang harus kita percayai dan kita anjurkan, serta kita anggap sebagai ungkapan hakiki tentang Islam, sebagaimana diturunkan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya, dan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam sunnah dan sirah-nya; serta seperti apa yang dipahami dan diterapkan oleh para sahabat dan khulafa' rasyidin serta yang dipahami oleh para tabi'in yang mengikuti mereka dengan baik; sehingga mereka menjadi abad yang terbaik dalam perjalanan hidup umat ini.

TUGAS PENTING ARUS PEMIKIRAN MODERAT

Tidak diragukan lagi bahwa arus pemikiran di atas menjadi tumpuan harapan bagi hari esok dan masa depan umat. Kita harus berusaha keras untuk menganjurkan orang berpikiran seperti itu; mendidik para pendukungnya; memberikan jawaban yang memuaskan terhadap musuhnya; melakukan dialog dengan para penentangnya.

Di antara perkara yang kita ketahui bersama sekarang ini dengan bukti-bukti yang cukup memadai ialah bahwasanya kekuatan-kekuatan yang menentang --baik yang ada di dalam dan di luar-- lebih takut terhadap arus pemikiran seperti ini daripada yang lainnya. Bahkan kekuatan itu cenderung lebih membenci dan memusuhinya daripada arus-arus pemikiran lainnya.

Dahulu musuh-musuh Islam mewaspadai arus pemikiran yang keras dan kaku, namun kini telah muncul ancaman baru, sehingga mereka berkata, "Hati-hati terhadap Islam yang moderat. Ia lebih berbahaya daripada yang lainnya. Arus-arus pemikiran yang lain umurnya pendek dan tidak dapat hidup lama. Adapun arus pemikiran Islam yang moderat ini terus-menerus berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Kemoderatan arus ini --menurut dugaan mereka-- tidak dapat dianggap aman. Ia mulai bergerak dengan moderat tetapi kemudian berkembang menjadi ekstrem, karena sesungguhnya ekstremitas tetap tersimpan dalam Islam, sebagaimana yang mereka katakan.

Dari sini musuh-musuh Islam mengkhawatirkan bahaya Islam yang terus merangkak menuju mereka, yang mereka namakan sebagai 'bahaya hijau,' sekaligus mereka jadikan sebagai musuh baru, sebagai ganti 'bahaya merah' yang telah lenyap bersamaan dengan lenyapnya komunisme dari daratan Eropa. Akan tetapi musuh-musuh Islam yang betul-betul sadar, percaya bahwa bahaya Islam hanyalah khayalan belaka dan bukan kenyataan.

Arus pemikiran yang moderat ini mesti menghadapi orang-orang seperti itu dan menyingkapkan kepalsuan mereka, serta mau melakukan dialog dengan orang-orang yang moderat dari kalangan mereka.

Di samping itu, arus pemikiran ini selayaknya juga menghadapi anak-anak mereka sendiri dan para mahasiswa yang ada di dalam negeri Islam, dan juga orang-orang yang mengaku sebagai orang Islam tetapi mereka memusuhi proyek peradaban Islam dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Mereka berdiri pada barisan musuh umat dan agamanya. Mereka adalah orang yang disifatkan oleh Rasulullah saw yang mulia dalam hadits Hudzaifah yang disepakati ke-shahih-annya bahwa mereka adalah:

"Para penganjur kepada pintu-pintu neraka Jahanam. Barangsiapa menyambut ajakan mereka, mereka akan dilemparkan ke dalamnya." Kemudian para sahabat berkata, "Tunjukkan sifat-sifat mereka kepada kanu wahai Rasulullah." Beliau kemudian bersabda, "Mereka berkulit seperti kita, dan berbicara dengan bahasa kita." 6

Oleh sebab itu, adalah penting bagi kita untuk memerangi orang- orang yang merusak pemikiran umat, menyesatkan mereka dari hakikat dan identitas yang asli (fitrah Islam). Mereka meletakkan racun berbisa dalam madu yang manis, dan dalam lemak yang lezat; berupa bahan bacaan (majalah, tabloid dsb.), atau audio-visual (berupa musik dan tontonan-tontonan yang menjijikkan). Media-media seperti itu menghancurkan moral anak-anak kita, sebagaimana penyakit AIDS yang begitu dahsyat membunuh manusia.

Sesungguhnya saudara-saudara kita yang ter-Barat-kan (Westernized) membawa pemikiran para penjajah, setelah para penjajah itu sendiri mencabut tongkatnya dan meninggalkan tanah air kita. Merekalah yang membawa kembali konsep-konsep Orientalis dan Salibis, yang kebanyakan tidak bekerja dengan tulus untuk kemajuan peradaban kita pada hari ini. Kalaupun ada yang betul-betul tulus hatinya, mereka tidak mempunyai perangkat yang baik untuk memahami peradaban kita, sumber-sumber dan warisan yang diberikan olehnya. perangkat yang paling penting adalah bahasa dan cita rasa terhadap bahasa tersebut.

Pertarungan kita yang hakiki adalah pertarungan kita melawan "para ekstrimis" yang sebenarnya. Mereka terdiri atas para pengikut sekularisme dan sisa-sisa Marxisme. Pada hari ini mereka menggunakan baju liberalisme Barat, yang mempertajam senjata pena mereka untuk memerangi Kebangkitan Islam, dan kebangkitan barunya; mengacaukan da'wahnya; menghalangi para dainya; dan menciptakan istilah-istilah baru untuk menjauhkan umat dari agamanya (Islam); seperti: Islam politik, atau fundamentalisme. Mereka jugamenciptakan perpecahan dan pertempuran berdarah antara rakyat dan pemerintahan Islam yang sedang berkuasa, untuk melemahkan kekuatan negara. Pertempuran itu tidak pernah berhenti, karena bila satu pertempuran selesai, maka muncul pertempuran lainnya dengan bentuk yang baru dan lebih dahsyat.

Sesungguhnya usaha untuk mengalihkan pertarungan dari jalur itu, dan upaya untuk menciptakan musuh-musuh yang berasal dari kalangan aktivis Islam itu sendiri, yang berselisih pendapat dengan sebagian orang dalam masalah-masalah cabang di dalam fiqh, ataupun cabang di dalam aqidah, ataupun dalam memberikan prioritas amalan, atau dalam masalah-masalah kecil lainnya, merupakan satu kelalaian besar akan hakikat musuh yang mengintai dari semua arah. Musuh-musuh ini menginginkan agar umat Islam saling membunuh antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Mereka hanya ingin menonton pertarungan itu dari jauh, kemudian di akhir pertarungan mereka memberikan pukulan yang mematikan terhadap semua kelompok yang sedang bertarung itu. Kalau ada di antara para da'i Muslim yang melakukan hal itu, maka ini adalah musibah yang sangat besar. Karena sesungguhnya ketidaktahuan terhadap masalah seperti itu dianggap sangat membahayakan. Dan siapa yang melakukannya padahal dia mengetahui masalah yang sebenarnya, sungguh merupakan musibah yang lebih besar, yang sudah barang tentu bahayanya juga jauh lebih besar. Sebab, ia dapat dianggap sebagai satu bentuk pengkhianatan terhadap Islam, umat, dan kebangkitan.

Salah seorang penyair berkata,

"Kalau kamu tidak mengetahui bahwa kamu sedang diadu domba maka itu adalah suatu musibah. Tetapi bila kamu mengetahuinya, maka musibahnya lebih dahsyat. "

Saya yakin bahwa arus pemikiran moderat ini mempunyai tugas besar yang harus diusahakan dengan serius. Tugas itu mesti dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan untuk menyatukan barisan kaum Muslimin --barisan orang-orang yang bekerja untuk Islam-- di atas landasan yang tidak mengandung pertentangan, atau di atas dasar rukun aqidah yang enam: iman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdirnya. Selain didasarkan kepada rukun amalan yang lima: dua kalimah syahadat, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Rumah Allah. Serta didasarkan kepada dasar-dasar sifat dan perilaku yang baik, serta menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan yang diharamkan, khususnya dosa-dosa besar.

Sebenarnya kita dapat melakukan pertemuan yang didasarkan kepada landasan-landasan utama tersebut, dan tidak mengapa bagi kita untuk berselisih pendapat dalam masalah-masalah juz'iyyat dan kecil. Kita boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu'iyah, berbeda pendirian, dan berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan hukum melalui ijtihad. Perbedaan seperti itu diperlukan dalam menjalankan agama, dan sudah menjadi tabiat manusia biasa, serta sifat alam semesta dan kehidupan ini, sebagaimana yang telah saya paparkan secara terperinci dalam buku saya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-lkhtilaf al-Masyru' wa al-Tafarruq al-Madzmum.

Saya telah menyebutkan pada berbagai buku yang saya tulis bahwasanya boleh saja jumlah jamaah para aktivis Islam menjadi banyak, asal jumlah yang banyak itu mempunyai spesialisasi masing-masing, dan bukan jumlah yang banyak tetapi saling bertentangan dan bermusuhan satu sama lain. Karena sesungguhnya pertentangan dan permusuhan akan menyebabkan kehancuran.

Kita harus berusaha dengan gigih untuk menyatukan para aktivis yang berkhidmat untuk Islam, menyokong da'wahnya, menegakkan syariahnya, dan menyatukan umatnya. Usaha gigih dalam bentuk pemikiran dan tindakan praktis untuk mendekatkan jurang pemisah, menanamkan kepercayaan, menanamkan suasana toleran dan prasangka baik, menjernihkan jiwa dari perasaan ujub, tertipu, dan menuduh serta menghina orang lain.

"Seseorang telah dianggap berbuat jahatr apabila dia telah melakuan penghinaan terhadap saudaranya yang Muslim." 7

Menurut pandangan saya, pekerjaan tersebut tergolong prioritas yang sangat penting dan harus didahulukan di lapangan Islam pada hari ini. Jika para aktivis Islam tidak menyadari adanya perpecahan yang sedang mereka jalani, maka seluruh umat Islam akan dilindas. Mereka akan dimangsa oleh taring dan kuku tajam musuh Islam dan umat Islam. Arus pemikiran akan dimatikan demi arus pemikiran yang lain. Satu kelompok akan dibunuh menyusul kelompok yang lain sampai semuanya dapat dimusnahkan.

Apabila kita pada hari ini memiliki kekuatan untuk menyatukan berbagai kekuatan umat kita yang besar, dari satu benua ke benua yang lain, maka hendaknya kita berjerih payah --paling tidak-- untuk menyatukan kekuatan besar yang terpisah-pisah itu agar dapat menyongsong Kebangkitan Islam. Kebangkitan yang dapat diajak untuk berdialog dan saling memahami, yaitu dengan menghilangkan ganjalan-ganjalan dan ektremisme, mendekatkan konsep-konsep berlainan, mengatur langkah, menghadapi berbagai masalah perjalanan hidup umat dalam satu barisan, bekerja sama, dan memberikan toleransi pada perbedaan pendapat. Usaha saling memahami, bekerja sama dan menyatukan pandangan merupakan satu kewajiban agama, dan keperluan hidup yang sangat mendesak. Jika kita tidak dapat disatukan oleh satu pemikiran, maka hendaknya kita dapat disatukan oleh pelbagai bencana yang mengancam kita; sebagaimana dikatakan oleh Syauqi,

"Kalau jenis diri kita ini wahai Ibn Talh memisahkan kita, maka sesungguhnya pelbagai musibah yang mengancam seharusnya dapat menyatukan barisan kita."

PENERAPAN HUKUM SYARIAH ATAUKAH PEMBINAAN DAN INFORMASI

Terjadi suatu perdebatan di sini bahwasanya kebanyakan orang-orang yang bekerja di lapangan Islam --khususnya orang-orang yang sangat ambisius- memberikan perhatian yang sangat besar kepada persoalan yang mereka sebut "penerapan syariah Islam". Mereka hanya memberikan perhatian kepada satu segi saja, yaitu penerapan hukum Islam, terutama hukum hudud, qishas, dan ta'zir.

Sesungguhnya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pekerjaan tersebut merupakan salah satu bagian dari Islam, yang tidak boleh kita lalaikan, atau kita berpaling darinya. 8

Akan tetapi kalau kita sangat berlebihan memberikan perhatian kepadanya dan membicarakannya, serta menganggapnya sebagai masalah yang utama dan puncak tujuan kita, maka sesungguhnya hal ini akan membawa kesan yang buruk terhadap pemikiran Islam, dan amal Islami, atau kesan yang tidak baik dalam pemikiran masyarakat awam. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang dapat membahayakan syariah dan da'wahnya. Saya selalu mengatakan, "Sesungguhnya hukum-hukum saja tidak akan dapat menciptakan masyarakat, dan tidak dapat membangun umat. Sesungguhnya yang dapat membentuk masyarakat dan membangun umat adalah pendidikan dan pengajaran, kemudian hukum-hukum tersebut memberikan perlindungan dan perisai kepadanya."

Oleh sebab itu, kita mesti memberikan perhatian terhadap persoalan yang hakiki ini dari segi pemikiran dan tindakan. Kita harus membuat rencana pengembangan dan rancangan yang sesuai untuk mempersiapkan "Pendidikan Islam yang Sempurna dan Modern" yang terus mengikuti perkembangan anak-anak Muslim sejak dari buaian, hingga mereka keluar dari universitas, dengan mempergunakan metode yang sesuai, sistem yang menarik, sarana audio visual, teknnologi canggih, yang dapat mewujudkan pentingnya agama bagi kehidupan, dan menegaskan kesempurnaan Islam, keadilan hukum-hukumnya, kemukjizatan kitab sucinya, keagungan Rasul, keseimbangan peradaban, dan kekekalan umatnya.

Pendidikan itu tidak harus dilakukan dalam pelajaran agama atau pendidikan Islam saja. Tetapi dimasukkan dalam setiap mata pelajaran, bahan-bahan kajian ilmiah dan sastra. Pendidikan itu dimasukkan dalam mata pelajaran dan ilmu-ilmu sosial, bahasa dan sastra, dan juga dimasukkan dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Suasana di sekolah, tempat belajar harus diusahakan yang Islami agar dapat membantu menumbuhkan generasi Muslim yang percaya kepada Allah, bangga terhadap agama dan umatnya. Generasi yang tumbuh dengan sempurna dengan ruh, akal, tubuh dan perasaannya, ikhlas kepada tuhannya, berkhidmat kepada negaranya, toleran terhadap orang lain, dan melakukan kebaikan untuk seluruh umat manusia.

Kita harus menghadapi pemikiran fiIsafat, metodologi materialisme dan komunisme, yang kosong dari ruh agama, dan bertolak belakang dengan filsafat Islam tentang pandangannya terhadap Allah dan manusia, serta tentang hidup dan alam semesta, dan tentang agama serta dunia.

Di samping itu kita juga mesti membuat penelitian dan pengembangan dalam bidang lainnya, misalnya dalam bidang informasi dan kebudayaan, yang memiliki pengaruh dan kesan yang luar biasa terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Perangkat informasi yang membentuk pemikiran, kecenderungan, perasaan, trend pemikiran dan jiwa manusia.

Dalam keadaan apapun, bidang inforrnasi ini tidak boleh kita berikan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Islam, sebagai rujukan yang paling tinggi dalam kehidupan kaum Muslimin dan jamaah Muslim, dalam bergaul, berpikir dan berperilaku.

Ada dua titik tolak yang saling menyempurnakan dalam tindakan yang dapat kita lakukan.

Pertama, mempersiapkan ahli informasi Muslim dalam semua bidang kehidupan, pada semua peringkatnya, yang mampu menampilkan bahwa Islam mempunyai berbagai kemampuan yang besar untuk setiap zaman.

Termasuk dalam kelompok ini adalah para seniman dari berbagai bidang; seniman dalam bidang nasyid, drama, dan lakon.

Atas dasar itu, kita memerlukan orang yang dapat menulis skenario, sutradara (pengarah), artis, juru kamera, dan juga eksekutifnya.

Perkara ini tidaklah mudah, karena berkaitan dengan hukum-hukum agama dan non-agama. Kita harus membuat target tertentu, prasarana yang jelas, pentahapan yang jelas, agar tidak mengalami kekurangan, dan pembinaan manusia dapat dilakukan dengan sempurna. 9

Kedua, kita berusaha mempengaruhi para ahli informasi dan seniman di masa kini. Karena sesungguhnya di antara mereka ada orang-orang Islam yang salat dan mau berpuasa, tetapi mereka --karena latar belakang pendidikan dan budayanya-- menyangka bahwa apa yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan Islam, dan tidak mendatangkan kemurkaan Allah. Bahkan sebagian dari mereka ada yang telah mengetahuinya, akan tetapi mereka terpengaruh dengan gaya hidup orang di sekitarnya dan kebiasaan hidupnya sehari-hari.

Kita harus berusaha dengan keras untuk meraih mereka, sehingga mereka memahami ajaran agama mereka dan bertobat kepada Thhan, dan akhirnya mereka bergabung dengan kafilah dai islam dan sifat-sifat utamanya.

Pada tahun-tahun terakhir ini saya telah menyaksikan beberapa orang seniman dan artis yang bertobat, dan para bintang film wanita. Akan tetapi kebanyakan mereka telah menjauhkan diri dari seni dan para seniman, untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka lari membawa agamanya.

Sebetulnya, ada tindakan yang lebih baik yang dapat mereka lakukan. Ialah tetap berada dalam bidang sulit itu, dan mempergunakan perkataan Umar bin Khattab setelah dia masuk Islam sebagai pedoman mereka:

"Demi Allah, tidak ada suatu tempat yang dahulu saya pergunakan untuk menyebarkan kejahiliyahan kecuali tempat itu harus sayapergunakan juga untuk menyebarkan Islam."

Tindakan seperti ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan melakukan kerja sama berbagai pihak, dan menyingkirkan kerikil-berikil tajam di jalanan.

Catatan kaki:

6 Muttafaq 'Alaih dari Hudzaifah, al-Lu'lu' wal-Marjan. ^
7 Diriwayatkan okh Muslim dari Abu Hurairah r.a. ^
8 Lihat buku kami Malamih al-Mujtama' al-Muslim al-ladzi Nansyuduh, bab "at-Tasyri' wal-Qanun." ^
9 Lihat buku kami Malamih al-Mujtama' al-Muslim al-ladzi Nansyuduh, bab "al-Lahw wa al-Funun." ^

MENGAPA PEMBINAAN LEBIH DIBERI PRIORITAS?

MENGAPA pembinaan lebih diberi prioritas daripada peperangan?

Dalam memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas dapat kami jelaskan beberapa hal berikut ini:

Pertama, sesungguhnya peperangan dalam Islam bukan sembarang perang. Ia adalah peperangan dengan niat dan tujuan yang sangat khusus. Ia adalah peperangan dalam membela agama Allah SWT. Nabi saw pernah ditanya tentang seorang lelaki yang berperang karena perasaan fanatik terhadap kaumnya, dan seorang yang berperang agar dia dikatakan sebagai pemberani, serta orang yang berperang untuk memperoleh barang pampasan, manakah di antara mereka yang termasuk berperang di jalan Allah? Nabi saw menjawab, "Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah, maka dialah yang berada di jalan Allah." 4

Sikap melepaskan diri dari berbagai dorongan duniawi tidak dapat muncul dengan tiba-tiba, tetapi harus melalui pembinaan yang cukup panjang, sehingga dia melakukan ajaran agamanya hanya untuk Allah.

Kedua, sesungguhnya hasil perjuangan yang ingin dinikmati oleh orang-orang Islam yang ikut berperang ialah kemenangan mereka atas kekafiran. Kemenangan dan kekuasaan ini tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang beriman dan melaksanakan tugas serta kewajibannya. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah:

"...sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar..." (al-Hajj: 40-41)

"Dan Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku..."(an-Nur: 55)

Sesungguhnya orang-orang yang diberi kedudukan dan kemenangan oleh Allah sebelum pembinaan mereka 'matang,' seringkali malah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi daripada melakukan perbaikan.

Ketiga, menurut sunnatullah, kedudukan itu tidak akan dapat terwujudkan, kecuali setelah orang yang berhak memperolehnya lulus dari berbagai ujian Allah terhadap hati mereka, sehingga dapat dibedakan antara orang yang buruk hatinya dan orang yang baik hatinya. Itulah salah satu bentuk pendidikan praktis yang dialami oleh para nabi dan orang-orang yang menganjurkan orang lain untuk berpegang kepada ajaran Allah pada setiap zaman. Imam Syafi'i pernah ditanya, "Manakah yang lebih utama bagi orang mu'min, mendapatkan ujian atau mendapatkan kedudukan di muka bumi ini?" Dia menjawab, "Apakah ada pemberian kedudukkan sebelum terjadinya ujian? Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberikan kedudukan kepada Yusuf setelah dia mengalami ujian dari Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

"Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja dia kehendaki di bumi Mesir itu..." (Yusuf: 56)

Sesungguhnya kedudukan yang diperoleh dengan cara yang mudah dan gampang dikhawatirkan akan mudah dihilangkan oleh orang yang mendudukinya dan menyia-nyiakan hasilnya. Berbeda dengan orang-orang yang berjuang dengan jiwa dan harta benda mereka sendiri, sehingga mereka merasakan suka-duka, dan ujian yang sangat berat hingga dia diberi kemenangan oleh Allah SWT.

Catatan kaki:

4 Diriwayatkan oleh Jama'ah (Ahmad dan penyusun al-Kutubal-Sittah), dari Abu Musa, Shahih Jami' as-Shaghir (6417) ^

PEMBINAAN SEBELUM JIHAD

INILAH yang menjadikan para pembaharu pada hari ini menyerukan wajibnya mendahulukan pendidikan daripada peperangan, mendahulukan pembentukan pribadi daripada menduduki pos-pos yang penting.

Yang kami maksudkan dengan pendidikan dan pembentukan di sini ialah membina manusia mu'min, yang dapat mengemban misi da'wah; bertanggung jawab menyebarkan risalah Islam; tidak kikir terhadap harta benda; tidak sayang kepada jiwanya dalam melakukan perjuangan di jalan Allah. Pada saat yang sama dia merupakan contoh hidup yang dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam dirinya, sekaligus menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam dirinya orang melihat Islam yang benar-benar hidup.

Pembinaan dan pendidikan manusia seperti itu merupakan tuntutan manusia sepanjang zaman, khususnya apabila kita hendak membuat landasan bagi agama yang baru, atau umat baru yang mempunyai misi yang baru. Ketika ada suatu agama yang sedang melemah, kemudian umatnya dihinggapi dengan kerapuhan, maka agama ini memerlukan suasana baru, dan umatnya perlu dihidupkan. Maka tidak ada jalan bagi agama itu kecuali melakukan pembaruan, menghidupkan dan memperbaiki umatnya. Yaitu mendidik generasi baru untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya.

Pembinaan dan pembentukan manusia seperti itu, merupakan gambaran yang paling tepat bagi generasi mu'min yang hendak mengemban panji perbaikan dan kebangkitan. Usaha seperti itu harus mendahului perjuangan bersenjata untuk mengubah suatu masyarakat dan mendirikan negara.

Oleh karena itu, tugas penting yang dilakukan oleh Al-Qur'an pada masa Makkah --selama tiga belas tahun-- adalah membina manusia, mendidik generasi baru dengan pendidikan keimanan, akhlak, dan akal pikirannya secara sempurna. Teladan yang paling sempurna bagi generasi baru ini adalah Rasulullah saw.

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Tugas utama al-Qur'an pada periode Makkah ialah menanamkan aqidah, Sifat-sifat yang baik, akhlak yang mulia; menanamkan pandangan hidup yang sehat, pemikiran yang benar; menolak keyakinan-keyakinan Jahiliyah, sifat-sifat buruk yang merusak pemikiran manusia dan perilakunya; serta menjalin hubungan yang kuat antara manusia dan tuhannya dengan jalinan yang tidak dapat dipisahkan.

"Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat." (al-Muzzzammil: 1-5)

Pembinaan yang mendalam pada 'sekolah' malam, sekolah al-Qur'an adalah untuk mempersiapkan penerimaan 'perkataan yang berat' yang ditunggu tunggu olehnya. Ungkapan berat di sini tidak lain adalah berat dari segi tanggung jawabnya.

Kemudian ayat-ayat al-Qur'an turun dengan cara seperti itu, menanamkan aqidah dan konsep-konsep; menanamkan nilai-nilai dan sifat-sifat mulia; menyucikan akal dan hati dari kotoran-kotoran Jahiliyah; mendidiknya di atas makna-makna iman. Pekerjaan yang menuntut kesabaran, keteguhan, ketegaran, pengorbanan dalam membela kebenaran dan melawan kebatilan, dalam membersihkan akal pikiran dari penipuan yang buta terhadap para nenek moyang, pemimpin dan pembesar yang sesat. Pendidikan seperti ini mesti dilakukan sebelum turunnya satu ayat yang memerintahkan peperangan bersenjata, pertumpahan darah terhadap orang-orang musyrik dan para penyembah Taghut.

Bahkan para sahabat datang kepada Nabi saw mengadukan kepadanya bahwa di antara mereka ada yang dipukul, dan dilukai oleh orang-orang musyrik. Para sahabat menuntut kepada Nabi saw untuk mengangkat senjata sebagai usaha membela diri, memerangi musuh mereka dan musuh agama mereka. Akan tetapi Nabi saw berkata kepada mereka, sebagaimana dikisakkan oleh al-Qur'an:

"... Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembabyang..." (an-Nisa': 77)

Jawaban itu bukan berarti melecehkan perjuangan bersenjata, yang merupakan puncak pengabdian dalam Islam. Akan tetapi jawaban itu ada kaitannya dengan pelbagai pemberian prioritas; khususnya prioritas terhadap pendidikan dan pembentukan pribadi Muslim.

Di antara pendidikan yang baik yaitu menyiapkan jiwa-jiwa yang sanggup berperang ketika tiba masanya untuk itu, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Muzzammil:

"...Dia mengetahui balnva akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..." (al-Muzzammil: 20)

Perjuangan yang terakhir ialah perjuangan bersenjata, berjuang dengan pedang dan tombak. Sedangkan perjuangan dengan da'wah dan memberikan penjelasan kepada manusia, dan perjuangan dengan al-Qur'an adalah perjuangan yang harus dilakukan sejak hari pertama. Dalam surat al-Furqan --yang tergolong surat Makkiyah-- Allah SWT berfirman kepada Rasulullah saw:

"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur'an dengan jihad yang besar" (al-Furqan: 52)

Begitu pula berjihad dalam kesabaran dan keteguhan, serta mempertahankan diri ketika menerima siksaan dari orang-orang kafir ketika berda'wah di jalan Allah. Begitulah yang disebutkan pada awal surat al-Ankabut:

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman,' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dan azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dan semesta alam." (al-Ankabut: 2-6)

Pendidikan yang sedang kita bincangkan adalah termasuk jenis pendidikan ini, yakni berjihad di jalan Allah.

Imam Ibn al-Qayyim menyebutkan dalam al-Hady al-Nabawi, terdapat tiga belas tingkatan jihad. Empat tingkatan jihad yang berkaitan dengan jihad terhadap hawa nafsu, dua tingkatan jihad terhadap setan, tiga tingkatan jihad kepada pelaku kezaliman, bid'ah, dan kemungkaran, dan empat tingkatan lainnyajihad terhadap orang-orang kafir, dan jihad dengan hati, lidah, dan harta benda. Jihad yang mesti ditempatkan pada urutan yang terakhir ialah jihad dengan jiwa dan tangan kita."

Dia melanjutkan, "Karena jihad yang paling utama itu adalah mengatakan sesuatu yang benar di hadapan suasana yang sangat keras; seperti mengucapkan kebenaran di hadapan orang yang ditakutkan siksaannya, maka dalam hal ini Rasulullah saw menduduki tempat jihad yang tertinggi dan paling sempurna."

Karena jihad terhadap musuh-musuh Allah merupakan bagian dari jihad seorang hamba terhadap hawa nafsunya dalam meniti jalan Allah; sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw,

"Orang yang sebenanya berjihad ialah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam meniti ketaatan terhadap Allah. Dan orang yang sebenanya berhijrah ialah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh-Nya." 1

Maka sesungguhnya jihad terhadap hawa nafsu harus didahulukan daripada jihad terhadap musuh Islam. Karena sesungguhnya orang yang belum berjihad melawan hawa nafsunya terlebih dahulu untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya, dan meninggalkan apa yang dilarang baginya, serta memeranginya di jalan Allah, maka dia tidak boleh melakukan jihad terhadap musuh yang ada di luar dirinya. Bagaimana mungkin dia dapat melawan musuh dari luar, pada saat yang sama musuh dari dalam dirinya masih menguasainya dan tidak dia perangi di jalan Allah SWT? Sehingga tidak mungkin ia keluar melawan musuhnya, sebelum dia memerangi musuh yang berada di dalam dirinya.

Dengan adanya dua musuh ini, seorang hamba diuji untuk melawannya. Dan di antara kedua musuh ini masih ada musuh yang ketiga, yang tidak mungkin baginya untuk memerangi kedua musuh itu kecuali dengan melakukan perang terlebih dahulu kepada musuh yang ketiga ini. Musuh ini berdiri menghalangi hamba Allah untuk melakukan peperangan terhadap kedua musuh itu. Dia selalu menggoda hamba Allah dan menggambarkan bahwa kedua musuh itu begitu berat baginya, karena dengan memerangi kedua musuh itu manusia akan meninggalkan perkara-perkara yang lezat dan enak. Sesungguhnya manusia tidak akan dapat memerangi kedua musuh itu kecuali dia telah mengalahkan musuh yang ketiga. Perang terhadap musuh yang ketiga ini merupakan dasar bagi peperangan terhadap musuh yang pertama dan kedua. Musuh yang ketiga itu adalah setan. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuhmu ..." (Fathir: 6).

Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh merupakan peringatan bahwa kita harus mempergunakan segala kekuatan kita untuk memeranginya. Seakan-akan dia adalah musuh yang tidak ada hentinya, dan tidak ada seorang hambapun yang boleh melalaikan perang terhadapnya.

Itulah tiga musuh yang harus diperangi oleh manusia. Kaum Muslimin telah diuji untuk memerangi ketiga musuh itu karena ketiga-tiganya telah menguasai diri mereka sebagai ujian dari Allah SWT... sebagian orang di antara mereka diciptakan sebagai ujian atas sebagian yang lain, untuk menguji siapakah yang betul-betul membela Rasulullah saw dan siapakah yang termasuk dalam kelompok yang membela setan.

Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar betul-betul berjuang, sebagaimana mereka diperintahkan agar betul-betul bertaqwa kepada-Nya. Taqwa yang benar ialah mentaati Allah SWT dan tidak bermaksiat kepada-Nya, ingat kepada-Nya dan tidak melupakan, bersyukur kepada-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Dan jihad yang benar ialah berjihad terhadap hawa nafsunya, untuk menyerahkan hati, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya kepada Allah. Semua untuk Allah dan demi Allah, bukan untuk dirinya dan demi dirinya sendiri. Orang mu'min yang benar ialah orang yang memerangi setan dan mendustakan janji-janji yang diberikan olehnya, mengingkarinya, dan menentang larangannya. Sesungguhnya, setan memberikan janji dan harapan yang palsu, menipu manusia, menyuruh kepada perbuatan keji, dan melarangnya untuk bertaqwa kepada Allah SWT, melarangnya menjaga kesucian diri, dan melarang untuk beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, perangilah setan, dustakan segala janjinya, dan jangan turuti perintahnya. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kekuatan untuk melakukan peperangan terhadap musuh-musuh Allah SWT yang berada di luar dirinya, dengan hati, lidah, tangan, dan harta kekayaannya, untuk menegakkan kalimat Allah yang Maha Tinggi.

Ibn al-Qayyim berkata, "Jika perkara itu telah dipahami, maka sesungguhnya jihad itu memiliki empat tingkatan: Jihad terhadap hawa nafsu, jihad terhadap setan, jihad terhadap orang-orang kafir, dan jihad terhadap orang-orang munafiq."

Sementara jihad terhadap diri sendiri, musuh yang ada di dalam diri manusia itu juga memiliki empat tingkatan:

Pertama, berjihad terhadap diri sendiri untuk mengajarkan petunjuk kepadanya, petunjuk agama yang benar yang tidak ada kemenangan, kebahagian hidup di dunia dan di akhirat kecuali dengannya. Kalau manusia tidak mengetahui petunjuk tersebut, maka dia akan mengalami kesengsaraan hidup di dunia dan di akhirat

Kedua, berjihad terhadapnya untuk melaksanakan petunjuk tersebut setelah diketahuinya. Jika tidak, maka pengetahuan yang dimilikinya hanya akan berwujud ilmu pengetahuan tanpa amal. Kalaupun ilmu itu tidak membahayakannya, tetapi pasti tidak bermanfaat baginya.

Ketiga, berjuang terhadap diri sendiri untuk mengajak orang lain kepada petunjuk tersebut, mengajari orang yang belum mengetahuinya. Jika tidak, maka dia akan termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang diturunkan oleh All ah SWT. Ilmunya tidak bermanfaat, dan tidak akan menyelamatkannya dari azab Allah SWT.

Keempat, berjuang dengan penuh kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam mengajak orang lain kepada petunjuk Allah SWT. Dia bertahan terhadap berbagai kesulitan itu karena Allah SWT.

Apabila empat tingkatan jihad ini telah dapat dilalui dengan sempurna, maka dia akan menjadi manusia rabbani. Para ulama salaf sepakat bahwasanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan tidak berhak untuk disebut sebagai manusia rabbani sampai dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Oleh sebab itu, orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain dapat disebut sebagai orang yang mulia di kerajaan langit.

Adapun berjuang melawan setan itu ada dua tingkatan.

Pertama, berjihad untuk menolak berbagai bentuk syubhat dan keraguan yang mengotori iman agar tidak sampai kepada hamba Allah SWT.

Kedua, berjihad untuk menolak berbagai kehendak yang merusak dan nafsu syahwat agar tidak sampai kepada mereka. Jihad yang pertama harus dilakukan dengan keyakinan, dan jihad yang kedua harus dilawan dengan kesabaran. Allah SWT berfirman:

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (as-Sajdah: 24)

Sedangkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq juga ada empat tingkatan: dengan hati, dengan lidah, dengan harta benda, dan dengan jiwa. Jihad melawan orang-orang kafir itu khusus dilakukan dengan tangan, sedangkan jihad melawan orang-orang munafiq dilakukan dengan lidah.

Adapun jihad terhadap pelaku kezaliman, bid'ah, dan kemungkaran ada tiga tingkatan: Dengan tangan apabila mampu melakukannya. Jika tidak, maka berjihad dengan lidah. Dan bila tingkatan yang kedua ini juga tidak mampu dia lakukan, maka harus berjuang dengan hati. Itulah tiga belas tingkatan dalam melakukan jihad.2 Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Barangsiapa meninggal dunia tidak pernah berjihad, dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka dia akan meninggal dunia di atas kemunafiqan." 3

Tidak diragukan lagi bahwa enam tingkat yang pertama dalam jihad di atas termasuk ke dalam kategori pendidikan yang kita maksudkan dalam pembahasan ini. Tingkatan yang pertama ialah berjihad melawan diri sendiri dan berjuang melawan setan.

Catatan kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad, 6: 21, dari Fudhalah bin 'Ubaid dengan lafal, "Orang yang berhijrah ialah orang yang berhijrah dari kesalahan dan dosa-dosa." yang di-shahih-kan oleh Ibn Hibban (al-Ihsan. 4862); al-Hakim, 1: 11; yang di-shahih-kan olehnya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim. yang juga disepakati oleh adz-Dzahabi. ^
2 Lihatlah Zad al-Ma'ad, 3:5-11, cet. Mu'assasah ar-Risalah, yang ditahqiq oleh Syu'aib al-Arnauth. ^
3 Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Imarah (1910) dari Abu Hurairah r.a. ^

MEMPERBAIKI DIRI SEBELUM MEMPERBAIKI SISTEM

DI ANTARA prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (ishlah) ialah memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat; atau memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah apabila kita mempergunakan istilah yang dipakai oleh al-Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu:

"...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keaduan yang ada pada diri mereka sendiri..." (ar-Ra'd: 11)

Inilah sebenarnya yang menjadi dasar bagi setiap usaha perbaikan, perubahan, dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi fondasi bangunan secara menyeluruh. Karena kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah bangunan yang selamat dan kokoh kalau batu-batu fondasinya keropos dan rusak.

Individu manusia merupakan batu pertama dalam bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk manusia Muslim yang benar dan mendidiknya --dengan pendidikan Islam yang sempurna-- harus diberi prioritas atas usaha-usaha yang lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam pembinaan dan perbaikan. Itulah pembinaan yang berkaitan dengan diri manusia.

Sesungguhnya pembinaan manusia secara individual untuk menjadi manusia yang salih merupakan tuga utama para nabi Allah, tugas para khalifah pengganti nabi, dan para pewaris setelah mereka.

Pertama-tama yang harus dibina dalam diri manusia ialah iman. Yaitu menanamkan aqidah yang benar di dalam hatinya, yang meluruskan pandangannya terhadap dunia, manusia, kehidupan, dan tuhan alam semesta, Pencipta manusia, pemberi kehidupan. Aqidah yang mengenalkan kepada manusia mengenai prinsip, perjalanan dan tujuan hidupnya di dunia ini. Aqidah yang dapat menjawab pelbagai pertanyaan yang sangat membingungkan bagi orang yang tidak beragama: "Siapa saya? Dari manakah saya berasal? Akan kemanakah perjalan hidup saya? Mengapa saya ada di dunia ini? Apakah arti hidup dan mati? Apa yang terjadi sebelum adanya kehidupan? Dan apakah yang akan terjadi setelah kematian? Apakah misi saya di atas planet ini sejak saya masih di alam konsepsi hingga saya meninggal dunia?

Iman --bukan yang lain-- adalah yang memberikan jawaban memuaskan bagi manusia terhadap pertanyaan-pertanyaan besar berkaitan dengan perjalanan hidup manusia itu. Ia memberikan tujuan, muatan makna, dan nilai bagi kehidupannya. Tanpa iman manusia akan menjadi debu-debu halus yang tidak berharga di alam wujud ini, dan sama sekali tidak bernilai jika dihadapkan kepada kumpulan benda di alam semesta yang sangat besar. Umur manusia tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan perjalanan geologis yang berkesinambungan pada alam semesta, dan yang akan terus berlangsung dan tidak akan berakhir. Kekuatan Manusia tidak akan ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pelbagai kejadian di alam semesta yang mengancam keselamatannya; seperti: gempa bumi, gunung meletus, angin ribut, banjir, yang merusak dan membunuh manusia. Ketika berhadapan dengan pelbagai peristiwa alamiah itu, manusia tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun dia mempunyai ilmu pengetahuan, kemauan, dan teknologi canggih.

Selamanya, iman merupakan pembawa keselamatan. Dengan iman kita dapat mengubah jati diri manusia, dan memperbaiki segi batiniahnya. Kita tidak dapat menggiring manusia seperti kita menggiring binatang ternak; dan kita tidak dapat membentuknya sebagaimana kita membentuk peralatan rumah tangga yang terbuat dari besi, perak atau bijih tambang yang lainnya.

Manusia harus digerakkan melalui akal dan hatinya. Ia harus diberi kepuasan sehingga dapat merasakan kepuasan itu. Ia harus diberi petunjuk agar dapat meniti jalan yang lurus; dan ia harus digembirakan dan diberi peringatan, agar dia dapat bergembira dan merasa takut dengan adanya peringatan tersebut. Imanlah yang menggerakkan dan mengarahkan manusia, serta melahirkan berbagai kekuatan yang dahsyat dalam dirinya. Manusia tidak akan memperoleh kejayaan tanpa iman. Karena sesungguhnya iman membuatnya menjadi makhluk baru, dengan semangat yang baru, akal baru, kehendak baru, dan filsafat hidup yang juga baru. Sebagaimana yang kita saksikan ketika para ahli sihir Fir'aun beriman kepada Tuhan nabi Musa dan Harun. Mereka menentang kesewenangan Fir'aun, sambil berkata kepadanya dengan penuh ketegasan dan kewibawaan:

"... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja... (Taha: 72)

Kita juga dapat melihat para sahabat Rasulullah saw yang keimanan mereka telah memindahkan kehidupan Jahiliyah mereka kepada kehidupan Islam; dari penyembahan berhala, dan penggembalaan kambing kepada pembinaan umat dan menuntun manusia kepada petunjuk Allah SWT, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.

Selama tiga belas tahun di Makkah al-Mukarramah, seluruh perhatian dan kerja-kerja Nabi saw --yang berbentuk tabligh dan da'wah-- ditumpukan kepada pembinaan generasi pertama berdasarkan keimanan.

Pada tahun-tahun itu belum turun penetapan syariah yang mengatur kehidupan masyarakat, menetapkan hubungan keluarga dan hubungan sosial, serta menetapkan sanksi terhadap orang yang menyimpang dari undang-undang tersebut. Kerja yang dilakukan oleh al-Qur'an dan Rasulullah saw adalah membina manusia dan generasi sahabat Rasulullah saw, mendidik dan membentuk mereka, agar mereka dapat menjadi pendidik di dunia ini setelah kepergian baginda Rasul.

Dahulu, rumah Al-Arqam bin Abi al-Arqam memainkan peranan untuk itu. Kitab suci Allah SWT diturunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi pada saat itu; agar dia membacakannya kepada manusia secara perlahan-lahan, untuk memantapkan keyakinan hati mereka, dan orang-orang yang beriman kepadanya. Nabi saw menjawab berbagai pertanyaan orang musyrik pada waktu itu dengan mematahkan hujah-hujah mereka, sehingga hal ini sangat besar perannya dalam membina kelompok orang-orang beriman, memperbaiki dan mengarahkan perjalanan hidup mereka. Allah SWT berfirman:

"Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (al-Isra,: 106)

"Berkatalah orang-orang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (al-Furqan: 32-33)

Tugas terpenting yang mesti kita lakukan pada hari ini apabila kita hendak melakukan perbaikan terhadap keadaan umat kita ialah melakukan permulaan yang tepat, yaitu membina manusia dengan pembinaan yang hakiki dan bukan hanya dalam bentuk luarnya saja. Kita harus membina akal, ruh, tubuh, dan perilakunya secara seimbang. Kita membina akalnya dengan pendidikan; membina ruhnya dengan ibadah; membina jasmaninya dengan olahraga; dan membina perilakunya dengan sifat-sifat yang mulia. Kita dapat membina kemiliteran melalui disiplin; membina kemasyarakatannya melalui kerja sama; membina dunia politiknya dengan penyadaran. Kita harus mempersiapkan agama dan dunianya secara bersama-sama agar ia menjadi manusia yang baik, dan dapat mempengaruhi orang untuk berbuat baik, sehingga dia terhindar dari kerugian di dunia dan akhirat; sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat- menasihati supaya menetapi kesabaran." (al-'Ashr: 1-3)

Usaha itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali melalui pandangan yang menyeluruh terhadap wujud ini, dan juga dengan filsafat hidup yang jelas, proyek peradaban yang sempurna, yang dipercayai oleh umat, sehingga ia mendidik anak lelaki dan perempuannya dengan penuh keyakinan, bekerja sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dan berjalan pada jalur yang telah digariskan. Bagaimanapun, semua institusi yang ada di dalam umat (masjid dan universitas, buku dan surat kabar, televisi dan radio) mesti melakukan kerja sama yang baik, sehingga tidak ada satu institusi yang naik sementara institusi yang lainnya tenggelam, atau ada satu perangkat yang dibangun dan pada saat yang sama perangkat lainnya dihancurkan. Pernyataan di atas dibenarkan oleh ucapan penyair terdahulu:

"Dapatkah sebuah bangunan diselesaikan; Apabila engkau membangunnya dan orang lain menghancurkannya?"

MAKRUH

BAGIAN paling rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang dilarang adalah perkara makruh; yaitu makruh tanzihi. Sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua macam; makruh tahrimi dan makruh tanzihi. Makruh tahrimi ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram; sedangkan makruh tanzihi ialah yang lebih dekat kepada halal. Dan itulah yang dimaksudkan dengan istilah makruh pada umumnya.

Banyak sekali contoh yang kita kenal dalam perkara ini. Barangsiapa yang pernah membaca buku Riyadh as-Shalihin, yang ditulis oleh Imam Nawawi, maka dia akan dapat menemukan berbagai contoh tentang perkara yang makruh ini. Seperti makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari bawah bejana air, meniup minuman, beristinja' dengan tangan kanan, memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan dengan satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara di dalamnya, berbisik di masjid pada hari Jumat ketika imam sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika berbicara, mengucapkan doa, "Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau." "Kalau Allah dan Fulan menghendaki", berbincang-bincang setelah makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan sudah dihidangkan, mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa, atau untuk melakukan Qiyamul Lail.

Perkara yang makruh --sebagaimana didefinisikan oleh para ulama-- ialah perkara yang apabila ditinggalkan kita mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapatkan dosa.

Oleh karena itu, tidak ada siksa bagi orang yang melakukan perkara yang dianggap makruh tanzihi. Hanya saja, ia akan dikecam apabila melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan kecaman apalagi jika ia melakukannya berulang-ulang.

Akan tetapi, kita tidak perlu menganggap mungkar tindakan semacan ini (makruh tanzihi); agar mereka tidak terjebak dalam kesibukan memerangi hal-hal yang makruh padahal di saat yang sama mereka sedang melakukan hal-hal yang jelas diharamkan oleh agama.

SYUBHAT

SETELAH tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.

Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya. Dia tidak dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian untuk melakukannya. Apabila ijtihad yang mereka lakukan ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala.

Dan barangsiapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk tetap mengikutinya selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang dia ikuti.

Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Muttafaq 'Alaih:

"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana." 63

Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang pandai dan dapat dipercaya dalam perkara yang masih diragukan, sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya. Allah SWT berfirman:

"...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu? Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesatadalah dengan bertanya." 64

Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam, tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara' mereka.

Ada orang yang tergolong kawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu..." (al-Ma'idah: 101)

Sebagai orang Muslim tidaklah patut bagi kita untuk mencari-cari hal yang lebih sulit.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Aisyah sesungguhnya Nabi saw pernah ditanya, "Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak." Maka Nabi saw bersabda, "Sebutlah nama Allah dan makanlah."

Imam Ibn Hazm mengambil hadits ini sebagai suatu kaidah:
"Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak
akan menanyakannya."

Diriwayatkan bahwasanya Umar r.a. pernah melintasi sebuah jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka kawannya berkata, "Hai pemilik saluran air, airmu ini suci atau najis?" Maka Umar berkata, "Hai pemilik saluran air, jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari masalah."

Ada sebuah hadits shahih dari Nabi saw bahwa ada seseorang yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia, merasakan sesuatu, ketika shalat atau ketika berada di masjid. Maka Nabi saw menjawab, "Jangan kembali, sampai dia 'mendengar suara' atau merasa buang angin. "

Dari hadits ini para ulama menetapkan suatu kaidah: "Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan menyingkirkan keraguannya." Inilah cara yang paling pasti untuk menyingkirkan keraguan.

Pada suatu hari Rasulullah saw pernah menyambut undangan seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah tidak. Nabi saw dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.65

Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena berpegang kepada hadits shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi, dan meminum khamar. Beliau menjawab "Jika kamu tidak menemukan yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah dengan bejana itu." 66

Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada antara halal dan haram; yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang menjauhinya, berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur antara yang halal dan haram."

Ibn Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram. Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata, 'Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan sesuatu yang tidak diketahui.' Sedangkan ulama-ulama yang lain masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu hukumnya makruh ataukah haram?

Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan melakukan muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya. Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: "Tidak apa-apa, jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi saw dan para sahabatnya pernah melakukan muamalah dengan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-hal yang haram secara menyeluruh."

Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini dikatakan syubhat. Dan orang-orang wara' (yang lebih berhati-hati dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan) meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini. Sufyan berkata, "Hal itu tidak mengherankan saya, yang lebih mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya."

Az-Zuhri dan Makhul berkata, "Tidak apa-apa bagi kita untuk memakan sesuatu yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram, jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa di dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram." Ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal.

Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud dan Salman, dan lain-lain yang mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah; serta berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin yang membolehkan pengambilan sesuatu yang berasal dari riba dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.

Imam Ahmad berkata tentang harta benda yang masih diragukan kehalalan dan keharamannya, "Jika harta benda itu jumlahnya sangat banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan, dan kita boleh mengadakan transaksi dengan harta yang masih tersisa. Tetapi jika harta bendanya sedikit kita harus menjauhi barang-barang itu semuanya. Dengan alasan bahwa sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita lebih selamat dari benda yang haram tersebut, dan berbeda dengan barang yang jumlahnya banyak. Di antara sahabat kami ada yang lebih berhati-hati dalam menjaga suasana wara'nya sehingga mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman. Kelompok ini membolehkan transaksi dengan harta yang sedikit maupun banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan lain-lain. Pendapat inilah yang diikuti oleh orang-orang wara', seperti Bisyr al-Hafi.

Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk memakan makanan dari orang yang diketahui bahwa di dalam hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana pendapat Makhul dan al-Zuhri yang kami sebutkan di muka. Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari Fudhail bin 'Iyadh.

Sehubungan dengan hal ini ada beberapa riwayat yang berasal dari para ulama salaf. Ada sebuah riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan. Dia merasa tidak bersalah dengan adanya barang kotor yang dia pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas'ud menjawab, "Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu untukmu dan dosanya ditanggung olehnya." 67

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang itu berkata, "Aku tidak tahu sesuatupun dari miliknya selain barang yang kotor dan haram." Ibn Mas'ud menjawab: "Penuhi undangannya." Imam Ahmad men-shahih-kan riwayat ini dari Ibn Mas'ud, akan tetapi dia menolak isi riwayat darinya dengan berkata, "Dosa itu melingkari (hawazz) hati." 68

Bagaimanapun, perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah itu halal atau haram, karena banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada perkara-perkara syubhat yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi dua:

Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat.

Kedua, orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang mengetahui hukumnya. Yakni mengetahui apakah masalah ini dihalalkan atau diharamkan. Ini menunjukkan bahwa untuk masalah yang masih diperselisihkan halal haramnya adalah sama di sisi Allah, sedangkan orang yang lainnya tidak mengetahuinya. Artinya, orang lain itu tidak dapat mencapai hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT walaupun dia berkeyakinan bahwa pendapatnya mengenai masalah syubhat itu sudah benar. Orang seperti ini tetap diberi satu pahala oleh Allah SWT karena ijtihad yang dilakukannya, dan dia diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.

"Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat maka berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang telah terjerumus dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam sesuatu yang haram"

Hadits ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi dua bagian; yakni bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya.

Adapun orang yang mengetahui hukumnya, dan mengikuti petunjuk ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia termasuk pada kelompok ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya sudah jelas. Inilah kelompok terbaik dalam tiga kelompok yang menghadapi masalah syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia, dan dia mengambil tindakan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum Allah terbagi menjadi dua:

Pertama, orang yang menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini dianggap telah menyelamatkan (istabra'a) agama dan kehormatannya. Makna istabra'a di sini ialah mencari keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari kekurangan dan keburukan.

Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan diri adalah terpuji, seperti halnya mencari kehormatan untuk agamanya. Oleh sebab itu, ada ungkapan: "Sesungguhnya sesuatu yang dipergunakan oleh seseorang untuk menjaga kehormatan dirinya termasuk sedekah."

Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu bahwa perkara itu syubhat baginya. Sedangkan orang yang melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang syubhat, tetapi menurut pandangan dirinya sendiri bukan syubhat, karena dia tahu bahwa perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di sisi Allah SWT. Akan tetapi, kalau dia khawatir bahwa orang-orang akan mengecam dirinya karena melakukan hal itu, maka meninggalkan perkara itu dianggap sebagai penyelamatan terhadap kehormatan dirinya. Dan ini lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw kepada orang yang sedang melihatnya berdiri bersama Shafiyah; yakni Shafiyah binti Huyai.69

Anas keluar untuk shalat Jumat, kemudian dia melihat orang-orang telah shalat dan kembali, kemudian dia merasa malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak tampak oleh orang banyak, kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang tidak malu kepada orang, berarti dia tidak malu kepada Allah."

Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa perkara itu halal, dengan ijtihad yang telah diketahui oleh orang banyak, atau dengan taklid yang telah dilakukan oleh orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum perkara yang dilakukannya adalah mengikut hukum ketika dia melakukannya. Akan tetapi kalau ijtihadnya lemah, dan taklidnya tidak begitu terkenal di kalangan orang banyak, kemudian dia melakukan hal itu hanya sekadar mengikuti hawa nafsu, maka perkara yang dia lakukan dihukumi sebagai orang yang melakukan syubhat.

Dan orang yang melakukan perkara syubhat padahal dia mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa dia termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu yang haram. Pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:

Pertama, syubhat yang dilakukan tersebut --dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat-- merupakan penyebab baginya untuk melakukan sesuatu yang haram --yang diyakini bahwa perkara itu adalah haram.

Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadits ini disebutkan,

"Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang jelas berdosa." 70

Kedua, sesungguhnya orang yang memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang masih syubhat baginya, dan dia tidak mengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka tidak dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh karena itu dia dianggap telah melakukan sesuatu yang haram walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.

Sesungguhnya Allah SWT telah menjaga hal-hal yang diharamkan dan melarang hamba-Nya uneuk mendekatinya. Larangan itu Dia namakan dengan batas-batas haram. Oleh karena itu Dia menganggap bahwa orang yang menggembalakan binatang ternaknya di sekitar batas-batas itu dan dekat dengannya, dianggap telah melanggar dan memasuki kawasan yang diharamkan oleh-Nya. Begitu pula orang yang melanggar batas-batas halal, kemudian dia terjerumus ke dalam syubhat, maka dia dianggap sebagai orang yang mendekatkan diri kepada sesuatu yang haram. Dan sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud mencampur adukkan haram yang murni, agar orang terjerumus ke dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus menjauhi perkara-perkara yang diharamkan-Nya dan meletakkan batas antara manusia dan sesuatu yang haram itu

Tirmidzi dan Ibn Majah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Yazid, dari Nabi saw bersabda,

"Seorang hamba tidak akan dapat mencapai tingkat orang-orang yang bertaqwa sampai dia meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apa baginya karena khawatir akan apa-apa baginya."71

Abu Darda, berkata, "Kesempurnaan taqwa itu ialah bila seorang hamba sudah bertaqwa kepada Allah SWT; sehingga dia menjauhi dosa yang paling kecil sekalipun, dan meninggalkan sebagian perkara yang dia anggap halal karena khawatir perkara tersebut haram. Dia meletakkan batas antara dirinya dan sesuatu yang haram itu."

Al-Hasan berkata, "Ketaqwaan akan tetap berada pada diri orang yang bertaqwa kalau mereka banyak meninggalkan hal-hal yang halal karena khawatir ada sesuatu yang haram di dalamnya."

Ats-Tsauri berkata, "Mereka dinamakan orang yang bertaqwa karena mereka menjauhi apa yang tidak dijauhi oleh orang banyak." 72

Diriwayatkan dari Ibn Umar berkata, "Sesungguhnya aku suka meletakkan batas penghalang antara diriku dan sesuatu yang haram dan yang halal, dan aku tidak akan membakarnya."

Maimun bin Mahran berkata, "Seseorang tidak dianggap telah melakukan sesuatu yang halal, sampai dia membuat batas antara dirinya dan sesuatu yang haram, dengan sesuatu yang halal." 73

Sufyan bin Uyainah, 74 berkata, "Seseorang tidak dianggap telah mencapai hakikat iman sampai dia menciptakan batas antara yang halal dan yang haram dengan sesuatu yang halal, dan dia meninggalkan dosa serta yang serupa dengannya." 75

Itulah seharusnya tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan tingkatan keilmuannya. Ada orang yang tidak keberatan sama sekali untuk melakukan syubhat, karena dia telah tenggelam di dalam hal-hal yang haram, bahkan dalam dosa-dosa besar. Na'udzu billah. Di samping itu, hal-hal yang syubhat harus tetap dalam posisi syar'inya dan tidak ditingkatkan kepada kategori haram yang jelas dan pasti. Karena sesungguhnya di antara perkara yang sangat berbahaya ialah meleburkan batas-batas antara berbagai tingkatan hukum agama, yang telah diletakkan oleh Pembuat Syariah agama ini, di samping perbedaan hasil dan pengaruh yang akan ditimbulkannya.



Catatan kaki:

63 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Nu'man bin Basyir (52), (2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599) ^
64 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 4362) ^
65 Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, 1:199. ^
66 Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim (1390) dari Abu Tsa'labah al-Khasyani. ^
67 Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf, 4675, 4676, dengan isnad yang shahih. ^
68 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, 8747-8750, kemudian disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma', 1: 176, dan berkata, "Diriwayatkan oleh Thabrani seluruhnya dengan sanad yang rijal-nya shahih." Al-Hawazz sebagaimana yang dijelaskan dalam buku an-Nihayah, adalah perkara-perkara yang melingkupi hati atau yang paling banyak mempengaruhinya. Yakni sesuatu yang terbetik di dalam hati, dan mendorong orang unruk melakukan maksiat karena dia sudah kehilangan ketenangan dirinya. Syamar meriwayatkan hadits ini dengan kata hawazz, yang artinya melintas dan menguasainya. ^
69 Diriwayatkan oleh Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud (2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits Shafiyyah.
70 Diriwayatkan oleh Bukhari saja (2051). ^
71 Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2451); Ibn Majah (4215). Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan gharib, padahal dalam rangkaian sanad hadits ini ada Abdullah bin Yazid al-Dimasyqi yang dianggap dha'if." ^
72 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 7:384, dari ucapan Sufyan bin Uyainah. ^
73 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 4:84. ^
74 al-Hilyah, 7:288 ^
75 Ibn Rajab. Jami al-'Ulum wa al-Hikam, 1:209,200, cet. Al-Risalah yang di-tahqiq (diseleksi) oleh Syu'aib al-Arnauth, yang beberapa takhrij haditsnya telah kita gunakan. ^

BID'AH DALAM AQIDAH

SEBAGAI tambahan penjelasan bagi kemaksiatan, dalam syariah agama ini kita mengenal apa yang disebut dengan bid'ah. Yaitu sesuatu yang diada-adakan oleh manusia dalam urusan agama. Baik bid'ah yang berkaitan dengan aqidah yang dinamakan dengan bid'ah ucapan, maupun bid'ah yang berkaitan dengan amalan.

Bid'ah-bid'ah ini merupakan salah satu jenis perkara yang diharamkan tetapi berbeda dengan kemaksiatan yang biasa. Sesungguhnya pelaku bid'ah ini mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bid'ah-bid'ah tersebut, dan berkeyakinan bahwa dengan bid'ahnya itu dia telah melakukan ketaatan terhadap Allah dan beribadah kepada-Nya. Dan inilah yang paling membahayakan.

Bid'ah itu sendiri bisa berupa keyakinan yang bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw dan ajaran yang terdapat di dalam Kitab Allah. Dan bid'ah untuk jenis ini kita sebut dengan bid'ah dalam aqidah (al-bid'ah al-i'tiqadiyyah) atau bid'ah dalam ucapan (al-bid'ah al-qawliyyah); yang sumbernya ialah mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan. Perkara ini termasuk salah satu perkara haram yang sangat besar. Bahkan Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa perkara ini merupakan perkara haram yang paling besar. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raf: 33)

Termasuk dalam hal ini ialah perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, tanpa dasar yang jelas; sebagaimana difirmankan oleh-Nya:

"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.' Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?'" (Yunus: 59)

Selain itu, juga perbuatan yang dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah tetapi tidak disyariahkan dalam ajaran agama-Nya, seperti mengadakan upacara-upacara keagamaan yang tidak diajarkan oleh agama.

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariahkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?..." (as-Syura: 21)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Jauhilah, hal-hal baru dalam urusan agama, karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan."59

"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami, dan ia tidak ada dalam ajaran kami, maka sesuatu itu tidak diterima."60

Kedua macam bid'ah di atas --sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Qayyim-- adalah saling bergantung satu dengan lainnya. Jarang sekali bid'ah yang terpisah satu dengan lainnya; sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: "bid'ah dalam perkataan berkawin dengan bid'ah amalan; kemudian kedua "pengantin" itu sibuk merayakan perkawinannya. Lalu keduanya melahirkan anak-anak zina yang hidup di negeri Islam; kemudian mereka bersama-sama kaum Muslimin menuju kepada Allah SWT."

Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, "Hakikat "dikawinkannya" kekafiran dengan bid'ah adalah lahirnya kerugian di dunia dan akhirat."

Bid'ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan, karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama. Di samping itu, orang yang melakukan bid'ah tidak merasa perlu bertobat, dan kembali kepada jalan yang benar. Bahkan dia malah mengajak orang lain untuk menjalankan bid'ah itu bersama-sama. Seluruh isi bid'ah itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. bid'ah menolak semua ajaran agama yang dibenarkan. Ia memberi dukungan kepada orang yang memusuhi agama, dan memusuhi orang yang mendukung agama ini. Ia menetapkan apa yang di-nafi-kan oleh agama, dan me-nafi-kan apa yang telah ditetapkan oleh agama.61

Seluruh bid'ah tidak berada pada satu tingkatan. Ada bid'ah yang berat dan ada pula bid'ah yang ringan. Ada bid'ah yang disepakati dan ada pula bid'ah yang dipertentangkan.

Bid'ah yang berat ialah bid'ah yang dapat menjadikan pelakunya sampai kepada tingkat kekufuran. Semoga Allah SWT memberikan perlindungan kepada kita dari perbuatan tersebut. Misalnya, kelompok-kelompok yang keluar dari pokok-pokok ajaran agama ini, dan memisahkan diri dari umat; seperti: Nashiriyah, Druz, Syi'ah Ekstrim dan Ismailiyah yang beraliran kebatinan, dan lain-lain; sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali: "Secara lahiriah mereka menolak, dan secara batiniah mereka kufur." Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, "Mereka lebih kufur daripada orang Yahudi dan Nasrani, dan oleh sebab itu perempuan mereka tidak boleh dinikahi, sembelihan mereka tidak boleh dimakan, padahal sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan dan wanita mereka boleh dinikahi."

Bid'ah berat yang tidak sampai membuat pelakunya termasuk ke dalam kekufuran tetapi hanya sampai kepada kefasiqan. Yaitu kefasiqan dalam bidang aqidah dan bukan kefasiqan dalam perilaku mereka. Pelaku bid'ah ini kadang-kadang shalatnya paling lama dibandingkan dengan orang lain. Mereka palõng banyak berpuasa dan membaca al-Qur'an; seperti yang dilakukan oleh orang-orang Khawarij. "Salah seorang di antara kalian akan meremehkan shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka (orang-orang Khawarij), meremehkan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka, dan meremehkan tilawahnya jika dibandingian dengan tilawah mereka." Letak kerusakan mereka bukan pada perasaan mereka, tetapi pada akal pikiran mereka yang enggan dan membatu. Sehingga mereka mau membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang yang menyembah berhala.

Kelompok yang serupa dengan Khawarij ini sangat banyak, seperti Rafidhah, Qadariyah, Mu'tazilah dan mayoritas kelompok Jahmiyah, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Qayyim.62

Ada bid'ah yang termasuk kategori bid'ah yang ringan, yang sebabnya berasal dari kesalahan dalam melakukan ijtihad, atau salah dalam mempergunakan dalil, bid'ah seperti ini sama dengan dosa-dosa kecil dalam kemaksiatan.

Di samping itu, ada pula bid'ah yang masih diperselisihkan. Artinya, sesuatu kaum yang menetapkan bahwa suatu perkara termasuk bid'ah tetapi kaum Muslimin yang lainnya tidak mengatakannya bid'ah. Contohnya, bertawassul dengan Nabi saw, hamba-hamba Allah yang salih. Perkara ini adalah amalan furu'iyah dan bukan masalah aqidah dan pokok-pokok agama; sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Banna, yang dikutip Imam Muhammad bin Abd al-Wahab.

Contoh lainnya, ialah disiplin melakukan ibadah. Apakah hal ini termasuk bid'ah atau tidak?

Sesungguhnya, bid' ah tidak berada pada tingkat yang sama, dan begitu pula orang yang melakukannya. Ada orang yang menganjurkan kepada bid'ah, dan ada pula orang yang hanya sekadar ikut melakukan bid'ah dan tidak mengajak orang lain untuk melakukannya. Semua kelompok memiliki keterkaitan hukum yang berbeda.

Catatan kaki:

59 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Irbad bin Sariyah. 43, 44; dan Hakim. 1:95; dan Ibn Hibban ^
60 Munattaq 'Alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari, 2697; dan diriwayatkan oleh Muslim. 1718. ^
61 Lihat Madarij al-Salikin, I :222-223. ^
62 Lihat Madarij al-Salikin. 1: 362 ^